Kamis, 22 November 2012

Membiasakan Dari Yang Kecil

Kebiasaan pada hakikatnya merupakan perilaku atau tindakan yang disatukan terus menerus sehingga menjadi watak atau keperibadian seseorang. Dalam Islam, kebiasaan yang baik dapat menjadi sumber hukum, demikian juga sebaliknya. Sebuah perilaku tidak langsung menjadi kebiasaan, tetapi dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan jelek sekecil apapun jika menjadi kebiasaan, maka ia menjadi hal biasa, seperti pembiasaan merokok di atas kendaraan umum, berbohong, dan sebagainya. Kebiasaan yang baik sekecil apapun pula jika menjadi pembiasaan, maka ia menjadi standar nilai untuk perilaku yang lainnya, seperti kebiasaan makan pagi sebelum bekerja, berkata jujur, dan sebagainya. Lama-kelamaan semuanya akan muncul secara otomatis dan dilakukan secara refleks.
Karena pentingnya kebiasaan dan pembiasaan ini, maka Rasulullah saw berpesan kepada kita agar membiasakan berbuat baik, sekecil apapun, meski sekedar menampakan wajah cerah ketika bertemu dengan teman, senyum, atau meskipun sekedar menyingkirkan suatu gangguan di jalan. Mungkin terpikir oleh kita, bahwa menunjukan wajah yang cerah atau senyum saat bertemu dengan teman adalah pekerjaan remeh dan enteng. Begitu juga pekerjaan menyingkirkan suatu gangguan di jalan. Pada hal suatu kebaikan, kedua pekerjaan kecil itu mempunyai hubungan dengan pekerjaan besar dan penting, yaitu komitmen kita kepada kebaikan.
Seseorang yang menunjukan wajah cerah saat bertemu teman adalah sebagai tanda bahwa dalam jiwanya tertanam rasa cinta kasih kepada sesama teman sebagai wujud dari ucapan salam kepada teman. Maka dari itu, orang yang mempunyai komitmen kepada nilai-nilai kemanusiaan itulah yang bersedia membungkukan punggungnya untuk memungut sesuatu gangguan yang ada di jalan. Sebab, dalam jiwanya ada semangat untuk menyelamatkan orang agar terhindar dari kecelakaan.
Jika komitmen ini tertanam cukup kuat di dalam jiwa, dan berbuat kebaikan betapapun kecilnya telah mengakar di dalam jiwa, maka akan tumbuh watak kebaikan. Sehingga berbuat baik bukan lagi sebagai beban, melainkan sesuatu yang menyatu di dalam diri kita. Karena itu Allah berfirmandalam QS. Al-Layl: 5-7 sebagai berikut: "Orang yang suka memberi dan bertaqwa, maka serta percaya kepada kebaikan, maka kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan."
Sebagai seorang muslim yang memerlukan orang lain untuk berinteraksi sosial, rasa suka memberi dalam bentuk apapun ternyata memperkuat diri kita sebagai manusia. Coba kita rasakan ketika orang meminta-minta datang ke rumah kita, lalu kita kasih secukupnya, kalimat yang muncul dari mulutnya adalah ucapan terima kasih, mendo'akan kita panjang umur, murah rezeki dan sehat selalu. Tidak terlontar dari mulutnya, semoga saya juga berkecukupan dan bisa pula bersedekah seperti Anda.
Pada hal memberi itu adalah kewajiban yang kita tunaikan, bukan beban yang dipaksakan. Sering kita mengucapkan kata-kata sinis kepada para peminta-minta, sudahlah tidak kita kasih, mereka mendapat cercaan pula. Pada saat kita mencerca itu, yang mulia bukan kita, tetapi adalah orang yang meminta-minta itu. Bukankah Allah berfirman: "Dan orang yang meminta-minta itu janganlah kamu hardik." (QS. Ad-Dhuha: 10).
Ketika kita melangkahkan kaki dari rumah mencari karunia Allah, baik bekerja di kantor, guru atau pedagang bahkan pekerja bangunan sekalipun, alangkah baiknya jika kalimat yang terlontar pertama kali saat mulai melangkah adalah "Siapa yang bisa saya tolong hari ini?" bukan "Siapa yang bisa menolong saya hari ini?" Bukankah ajaran Islam mengatakan bahwa: "Tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah."Namun dalam prakteknya kenapa kita masih menyatakan tangan di bawah lebih mulia dari pada tangan di atas. Karena itu, kebiasaan memberi, baik berupa uang, tenaga, pikiran, nasehat, do'a, memberi kelapangan bagi seseorang yang dalam kesempitan adalah sebuah harga diri sebagai makhluk yang mulia.
Sebaliknya orang berkecenderungan jahat selalu menghadapi masa-masa sulit. Ketika memperoleh kemudahanpun dirasakan sebagai kesulitan. Ketika orang minta bantuannya, spontan kalimat muncul dari mulutnya "Sekarang agak payah kehidupan." Dalam hal ini Allah melanjutkan firman-Nya di atas: "Orang yang tidak suka memberi dan selalu merasa dirinya berkecukupan dan mendustakan kebaikan, maka Kami mudahkan baginya jalan menuju kesulitan." (QS. Al-Layl: 8-10). Artinya seseorang akan kehilangan kesadaran bahwa ia berbuat jahat karena perbuatan jahat itu sudah menjadi wataknya yang kedua. Lebih parah lagi dalam dalam pertumbuhan kebiasaan jahat itu seseorang mungkin tidak saja kehilangan kesadaran akan kegiatan jahatnya, malah justru perbuatan jahat itu dianggap sebagai kebaikan.
Oleh karena itu, Allah memperingatkan kita melalui Al-Qur'an bahwa boleh jadi kita sedang melakukan perbuatan baik, padahal sebenarnya kita sedang berbuat kejahatan. Sering kita membiasakan ucapan-ucapan kotor dan keji sehari-hari dan sudah menjadi bahasa sehari-hari pula, bahkan jika tidak mengungkapkan kata-kata kotor dan keji itu, itu belum berkomunikasi namanya. Akhirnya dia menjadi kebiasaan yang menurut kita baik padahal sebaliknya. Korupsi, menjadi konsumsi suatu yang haram, termasuk yang makruh seperti merokok boleh jadi baik menurut penilaian kita sepihak dengan menyeretnya menjadi sebuah kebenaran, tetapi karena kebenaran itu tidak jamak tetapi tunggal, maka perlu dicek silang kepada yang lainnya sehingga penilaian itu tidak menjadi subyektif.
Firman Allah menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: "Apakah orang yang dihiaskan kepadanya perbuatan jahat, sehingga ia melihatnya sebagai kebaikan." (QS. Fathir: 8). Oleh karena itu kebiasaan itu adalah watak kedua, maka dapat saja diubah. Jadi kebiasaan baik harus dipertahankan, sedangkan kebiasaan buruk harus disadari keburukannya sehingga ia berubah dan diubah.
Disinilah kebiasaan jadi dapat dinilai. Orang yang melakukan kebiasaan baik kecil tetapi selalu dilakukannya, maka itulah ibadah yang terbaik di sisi Allah. Sebahagian kita merasa sulit melakukan shalat tahajjud di malam hari, sebenarnya mudah. Caranya paksakan diri dulu membaca setiap pagi bangun tidur atau sebelum tidur beberapa ayat dan upayakan diri jauh dari perbuatan maksiat walaupun kecil, lama-kelamaan menjadi kebiasaan.
Sebahagian kita susah melakukan shalat khusyuk. Sebenarnya tidak sulit. Biasakan diri melakukan shalat-shalat sunat sebagai latihan. Jangan jadikan shalat wajib sebagai latihan. Akhirnya lama-kelamaan shalat khusyuk itu diperoleh juga. Logikanya praktis saja. Tidak ada laki-laki yang dari lahir sudah langsung pandai merokok, begitu juga tidak ada perempuan yang pandai menggunakan perlengkapan make-up sejak lahir. Yang pada akhirnya pandai karena kebiasaan. Demikian juga tidak ada orang yang pandai shalat sejak lahir, tetapi karena belajar, akhirnya bisa juga. Kenapa jema'ah haji sulit menghapal do'a-do'a manasik haji. Karena hanya dibaca saat akan berangkat atau ketika manasik haji dimulai. Kenapa hapalan ayat Al-Qur'an kita sering tidak lengket di memori kita. Karena hapalan itu tidak dimunculkan dalam shalat. Sebahagian kita hapal suray Yasiin, tetapi tidak mengenal ayat-ayat Al-Qur'an yang lain, karena isi Al-Qur'an itu seakan-akan hanya surat Yasiin saja.
Islam pada hakikatnya bukanlah budaya, tetapi Islam membentuk kebudayaan. Ketika Islam telah menjadi budaya sehari-hari, maka itulah yang pada hakikatnya syari'at Islam itu. Sebagai contoh Islam mewajibkan perempuan berpakaian menutup aurat. Akhirnya munculkan budaya berpakaian muslimah. Islam menganjurkan mengucapkan salam ketika bertatap muka atau dalam kegiatan tertentu. Akhirnya munculah budaya mengucapkan salam sesama muslim. Islam menganjurkan mengucapkan bismillah sebelum bekerja, dan alhamdulillah setelah bekerja, insya Allah ketika berjanji. Akhirnya karena sudah menjadi kebiasaan, maka secara tak langsung bukankah itu yang syari'at Islam?












0 Komentari ya..:

Posting Komentar